subhan.esde@yahoo.com

Melawan Teror

Oleh M SUBHAN SD

Jitet

Lord Mountbatten, veteran legendaris Perang Dunia II, bersama cucu kembarnya dan seorang tukang perahu tewas dibom saat mereka berlibur di Mullaghmore, Sligo, Irlandia, 27 Agustus 1979. Satu jam kemudian, ledakan bom menewaskan 18 tentara Inggris di Warren Point, dekat perbatasan Irlandia. Dua ledakan bom itu dilakukan Irish Republican Army (IRA), kelompok perlawanan rakyat Irlandia Utara terhadap Inggris. Sejak era 1970-an, IRA mengubah bentuk serangan, yaitu aksi-aksi teror, meninggalkan taktik perang kota (urban warfare).

Serangan teror yang keji bertentangan dengan agama, walaupun ia sering berangkat dari keyakinan agama dan kerap berkelindan dengan motif etnik dan ideologi politik. Konflik Irlandia Utara, misalnya, adalah konflik kelompok unionis pro Inggris yang umumnya penganut Protestan dan kelompok nasionalis-republikan yang mayoritas Katolik. Orang Irlandia Utara mengalami diskriminasi dan penindasan oleh Inggris. Dan, IRA jadi bentuk perlawanan rakyat Irlandia Utara.

Runyamnya teror identik dengan agama. Teror bermotif agama (religious terrorism) terlihat lebih masif, mengglobal, dan menghantui dibanding teror state terrorism (teror sistematis oleh pemerintah terhadap warganya), ideological terrorism (motif mengubah struktur politik dan sosial), separatist terrorism atau ethno-political terrorism (separatisme, bisa berbasis etnik), left wing terrorism (penggulingan demokrasi-kapitalis, membangun pemerintahan sosialis-komunis), right wing terrorism (memerangi pemerintah liberal, melanggengkan sistem tradisional), narco-terrorism (teror bandar obat), pathological terrorism (teror oleh individu, tak ada motif politik).

Celakanya lagi, labeling teror sekarang ini mengarah kelompok Muslim radikal, terlebih sejak serangan 11 September 2001 yang merontokkan simbol-simbol Amerika Serikat (AS). Orang Islam, baik nama, atribut, maupun pakaian dicurigai. Namun, ”perang melawan teror” yang dilancarkan Presiden AS George W Bush gagal menumpas terorisme, walaupun sudah begitu banyak negara diacak-acak dan banyak rezim otoriter digulingkan. Sebaliknya, AS meninggalkan puing-puing kehancuran dan kekerasan baru dan menyemai bibit-bibit teroris, termasuk Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).

Barangkali karena perang melawan teror tidak terlalu genuine, ada motif laten. Pakar keamanan global Michael Klare (Blood and Oil, 2004) melihat konflik pasca Perang Dingin bermotif rebutan sumber daya alam, khususnya minyak. Sumur-sumur minyak AS mengering. Maka, AS fokus ke negara-negara produsen minyak di Teluk Persia, Laut Kaspia, Amerika Latin, Afrika. Menurut Bernd Hamm, profesor sosiologi Universitas Tier Jerman, ”Geng Bush” bergerak mencari imbalan dari perang dan melanggar hukum jika tak ada benefit (The Bush Gang, 2006). Klare pun sudah mengingatkan, agar kebijakan energi itu diubah jika tak ingin dekade berikutnya diwarnai pertumpahan darah demi minyak.

Kita pun menyaksikan pertumpahan darah itu. Dan, teroris tampaknya terus beregenerasi. NIIS dinilai pelaku teror bom di Paris, pada 13 November 2015; dan Jakarta, pada 14 Januari 2016. Namun, di Jakarta tak ada kegentaran. Warga justru meneriakkan ”kami tidak takut”. ”Negara, bangsa, dan rakyat tidak boleh takut, tidak boleh kalah oleh aksi teror,” tegas Presiden Joko Widodo.

Solidaritas dan soliditas bangsa amat penting untuk membangun harmoni, toleransi, dan sikap-sikap moderat. Inklusifitas agama, etnik, dan ideologi mesti lebih banyak disemai, bukan hidup tertutup dalam komunitas-komunitas eksklusif. Paling sederhana hindari menebar kebencian, termasuk di media sosial, karena bisa menjadi embrio reaksi radikal kelompok tertentu. Sebab, terorisme sesungguhnya berada pada tataran pikiran. Tetapi, selama masih ada sikap arogan dan rasis seperti Donald Trump, reaksi radikal mungkin tidak mudah dihentikan.

Kompas, Kamis, 21 Januari 2016